Selasa, 20 September 2011

prolog


part 1  Jika kamu cinta aku...

Kehidupan baru kami baru saja dimulai. Bukan hanya berdua, aku dan Leon. Bertambah pula kebahagiaan kami dengan kehadiran Leonna. Bayi mungil yang hari ini genap berumur dua bulan.

Aku masih 18 tahun dan telah menjadi seorang ibu muda. Sama sekali tidak ada perasaan menyesal karena di usia yang bagi cewek-cewek lain digunakan untuk bersenang-senang, hang out bersama teman segank, jalan ke mall mungkin setiap hari, menunggu pengumuman kelulusan SMA sebelum kemudian melanjutkan ke universitas sesuai pilihan masing-masing, sedangkan aku telah dihadapkan pada satu tanggungjawab besar. Sangat besar. Seorang bayi yang adalah darah dagingku sendiri. Buah cintaku dengan seseorang yang kutahu adalah cowok yang paling dekat denganku setahun belakangan ini.

Leonel Ervanthe Ferdinand. Semua orang memanggilnya Leon. Sosok yang datang dari masa lalu, menjadi teman sekolahku di masa nyaris tiga tahun di SMA dan kini terikat sebuah hubungan denganku. Bukan pacaran, tapi pernikahan. Ikatan dua anak manusia yang resmi. Tidak banyak orang yang tahu tentang ini. Hanya sebagian kecil dari keluarga Ferdinand-keluarga intinya. Ayah, ibu tirinya, dan kak William. Dari pihak keluargaku, kedua orangtuaku, kak Alif, dan nenek yang menetap di kota hujan, Bogor.

Kami dipersatukan dalam sebuah kejadian yang aneh. Bagi orang-orang yang percaya, memegang teguh kejadian-kejadian logis, tidak ada yang akan percaya dengan yang namanya kutukan. Ilmu nujum. Peramal, dan lain sebagainya yang dipandang sebagai kekuatan supranatural.

Magic. Keajaiban. Seperti itulah kami dipertemukan. Unik? Sedikit gila, barangkali.

Lalu, bagaimana sebenarnya? Kutukan bisa mempersatukan kami?

Semua berawal dari kutukan yang diterima sepasang tunangan yang gagal menikah 17 tahun lalu. Angka 17 itu keramat bagi kami, karena ketika menginjak umur yang menuju dewasa itu, aku dan Leon menghadapi satu situasi yang kami alami di bawah alam sadar.

Claudia dan Jayden. Kutukan aneh telah mereka terima, yaitu mereka harus menjalani masa invisible atau masa dengan wujud fisik tidak terlihat dikarenakan kutukan tersebut. Ghosting evil dari seorang gypsi yang belakangan kuketahui bernama Marina.

Wujud tak terlihat itu bisa terhapuskan dari hidup mereka jika mereka bisa menemukan sepasang remaja yang punya tanggal lahir yang sama, umur yang sama, untuk kemudian menghasilkan keturunan yang kelak menghapuskan kutukan mereka.

Kalian berpikir aku dan Leon tengah dimanfaatkan atas sebuah kutukan yang kami sendiri tidak tahu apapun mengenainya. Ya. Awalnya aku berpikir begitu. Aku yang tengah bersiap menghadapi tahun terakhirku di SMA harus berhenti di tengah jalan karena mengandung. Efek dari hubungan di luar nikah dengan Leon.

Ya. Aku hamil.

Saat tahu tentang kondisiku, mama benar-benar sedih. Akupun demikian. Rasanya ingin mati saja. Aku tidak pernah mau berada di posisi itu. Menyongsong takdir sebagai ibu muda yang secara langsung menghentikanku sejenak dari cita-citaku untuk lekas lulus SMA dan kuliah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun aku tidak tahu persis kenapa aku bisa jadi begini, namun aku lekas mengambil keputusan berat. Demi bayi ini. Agar dia punya status. Agar dia tidak dikenal sebagai anak haram.

Leon menikahiku ketika usia kandunganku sudah berumur tiga bulan. Kami menikah dalam sebuah prosesi sederhana di apartemen milik kak William, saudara Leon satu-satunya.

Di awal pernikahan, aku meyakinkan diri kalau aku menjalani pernikahan ini hanya karena "kecelakaan". Aku tidak punya perasaan apa-apa kepada Leon, begitupun sebaliknya. Kami tidak saling mencintai, bahkan sebaliknya, kami saling membenci. Kami adalah dua orang yang selalu bermusuhan, hingga satu sekolahan tahu persis bagaimana kami saling anti satu sama lain.

Tapi takdir memang sudah diatur. Pengaturan dari yang di atas, menjadi kejutan yang kuakui pelan-pelan mengubah rute hidupku selama ini. Aku tidak bisa lagi hanya memikirkan diriku sendiri karena aku telah punya tanggungjawab baru...

Leonna Claire Amorette Ferdinand.

Lahir 29-April- 2011...



Kami masih tinggal bersama dalam satu apartemen. Hari ini Leon mempersiapkan diri mengikuti OSPEK di salah satu PTN Jakarta. Kupikir dia lumayan pintar bisa lulus SNMPTN dan mengambil jurusan Teknik Arsitektur yang aku tahu punya peminat yang luar biasa banyak. Entahlah jika dia memang pintar atau sedang beruntung saja.

Ya, aku lebih sering meremehkan kemampuan akademiknya sejak sekolah dulu, bahkan hingga sekarang. Leon tidak bisa mengalahkanku dalam prestasi belajar meskipun aku menghabiskan waktuku menjaga Leonna. Dia juga mengakuinya.

Leon memakai kemeja putih dan celana hitam. Rambutnya yang super keren harus direlakan untuk digunduli sampai plontos. Tapi aku tetap menyimpan kekaguman yang sama dengan wajahnya yang rupawan. Memang susah membuat seseorang kelihatan jelek kalau memang aslinya cakep.

Dan aku mulai was-was jika ada cewek sesama mahasiswa baru atau bahkan senior yang naksir padanya.

"Pokoknya, kalo ada yang nanya status lo, elo mesti bilang kalo elo udah nikah." kataku sambil memeriksa atribut yang akan dibawanya ke kampus. Aku mulai bergidik membayangkannya dalam masa OSPEK yang keras. Kelakuan senior yang kadang berlebihan, menjadikan OSPEK sebagai ajang uji nyali bagi mahasiswa baru, hingga terkadang membuat neraka kecil bagi mereka.

Aku tidak mau Leon kenapa-napa.

"Iya. Gue bakal ngasih tau semua orang kalo gue udah punya istri cantik, yang selalu bikin gue bahagia setiap saat, bahkan cuma dengan ngeliat dia tersenyum." sahut Leon. Dia mencolek hidungku. "Elo."

"Mm."

Setengah jam yang lalu kami duduk bersama di meja makan. Makan semangkuk cereal plus roti bakar cokelat dan keju. Leon selalu butuh sarapan yang banyak. Sarapan dalam porsi yang sama dengan porsi untuk makan siang. Salah satu menu terasa kurang untuknya.

"Mestinya tadi gue bikinin lo nasi goreng." ucapku setelah menggigit setangkup roti bakar. Aku yang jadinya kurang puas melihat menu sarapan pagi ini.

"Hmm. Gue nggak lagi pengen makan nasi goreng." Leon menandaskan isi mangkuk sereal cokelat sebelum beralih ke roti bakar keju. Dia suka mengambil jatahku. Kadang dia bilang ingin makan roti cokelat, tapi setelah jadi, malah yang keju yang diambilnya.

Emang suka ngajak ribut!

Tapi aku memang lebih banyak bersabar. Leon memang suka kalau melihatku marah.

"Ada daya tariknya kalo elo marah. Malah lebih cakep ketimbang kalo elo ketawa."

Aku berpikir kalau itu cuma bagian dari rayuan gombalnya. Leon dan rayuan overdosisnya yang lebih sering kuanggap lawakan daripada menghanyutkan. Tapi aku berharap dia selalu seperti itu. Lucu saja membayangkannya. 

"Jadiii, gue mau berangkat sekarang." Leon beranjak dari kursi, sambil meneguk susu cokelat bikinannya sendiri. Tadinya aku sedang menyiapkan sereal dan karena tidak mau merepotkanku, dia membuatnya sendiri. Sikapnya yang satu ini yang kadang membuatku berpikir apakah dia memang sudah sepengertian itu sebelum ketemu aku ataukah sifatnya berubah dalam jangka waktu hanya beberapa bulan ini saja?

"Tunggu bentar." Aku berdiri menghadapnya dan merapikan kerah bajunya yang sebetulnya sudah rapi. Mungkin tanganku ini sudah terbiasa melakukannya setiap Leon akan berangkat dan meninggalkanku berdua saja dengan Leonna. "Udah rapi."

"Bentar juga baju gue bakal lusuh lagi. Apalagi disuruh guling-guling."

"Tapi kan paling nggak, tampilan lo yang paling rapi kalo tiba di sana?" Aku berkelit ketika Leon hendak mengecup bibirku. Tapi dia mendapatkan kesempatan lain saat aku lengah. "Elo emang suka ngajak ribut ya?"

"Tapi suka kaaaan?" Leon mengelus rambutku. "Oke, Sayang. Gue berangkat dulu. Jangan nggak rinduin gue ya? Elo mesti inget gue selalu."  Leon tersenyum. Keningnya berkerut, sepertinya kelupaan sesuatu. "Kadang, gue suka lupa kalo ada Leonna. Kalo gitu, elo kasih tau Leonna kalo gue udah berangkat."

Aku mengangguk. Leon seperti melupakan sesuatu lagi. Rutinitas yang selalu mendekatkan kami. Satu pelukan hangat yang bertahan beberapa lama, melenakan, sampai terdengar suaranya yang kuakui penuh magnit hingga kurasa akan terus melekat di pendengaranku bahkan ketika Leon sudah tidak tampak di kedua mataku.

"Bye."

Aku  melambaikan tangan dengan senyum yang tidak henti-hentinya kukembangkan. Kusandarkan tubuhku di bingkai pintu, dan baru masuk kembali ketika tidak melihat bayangan Leon lagi.

Tujuanku berikutnya adalah melihat Leonna. Mengecek apakah dia sudah bangun. Ternyata belum. Tidurnya pulas, dengan kedua tangan di letakkan di sisi kiri kanan pipinya yang chubby. Ada rona merah di kedua pipi yang sering jadi sasaran cubitan Leon kalau dia benar-benar gemas terhadap Leonna. Leon selalu bilang kalau Leonna mirip aku. Rewel dan manja. Apalagi kedua matanya yang bulat amat sangat aku. Kecuali hidung mancung dan bibir tipis yang jelas turunan dari Leon. Begitupun kulitnya yang putih.

Leonna terlihat mirip bayi luar negeri. Istilahku, bayi impor. Gen bulenya sedemikian kental, mengalahkan gen dalam negeri yang kupunya. Leon memang 3/4 bule. Papanya tinggi besar terlihat sangat Perancis, dan sang mama yang setengah Jerman, walaupun aku tidak pernah bertemu langsung dengan mamanya. Aku hanya menyimak dari foto-foto yang diperlihatkan Leon dari album keluarganya. Sang mama sudah meninggal sewaktu Leon masih SMP kelas dua. Dari foto-foto yang ada, almarhumah memang terlihat seperti blasteran pada umumnya.

Aku ingin protes karena gen lokal dariku hampir tidak muncul dalam tampilan fisik Leonna. Kecuali mata bulat, meskipun warna pupilnya cokelat sama seperti Leon. Belum lagi rambut Leonna yang cokelat, semakin menunjukkan ke-bule-annya. Aku jadi curiga, jangan-jangan benih Leonna dipinjamkan ke kandunganku sekedar untuk dilahirkan.

Pemikiran yang konyol karena aku sangat yakin kalau Leonna itu bayiku dan Leon. Aku menjalani semua tahapan yang mesti dilewati ibu hamil. Aku mengidam, yang super rewel dan menyusahkan dan membuat Leon kewalahan, tapi anehnya dia malah berterimakasih karena aku mau bermanja-manja dengannya. Pikirannya memang suka lebih aneh dari yang kubayangkan.

Karena Leonna tidur, aku punya waktu untuk membenahi dapur. Semua perlengkapan makan di atas meja kubereskan. Aku senang melakukan pekerjaan ini. Peran baruku sebagai seorang ibu muda sangat menyenangkan. Aku cepat tanggap cara menangani bayi. Aku sudah mulai terbiasa memandikan Leonna, memakaikan baju, membuatkan susu, menyusui walaupun geli dan terkadang sakit, sampai menggantikan popoknya ketika Leonna pipis atau puup.

Tapi mama tidak lepas tangan begitu saja. Mama setiap dua hari sekali menginap di apartemen. Sesekali aku diantar Leon menginap di rumahku, walaupun Leon lebih sering bermuka cemberut ketika merelakanku menginap di rumahku. Bahkan kalau mama, papa atau kak Alif menjengukku dan Leonna, dia merasa terabaikan olehku. Tidak jarang aku membujuknya, tapi kadang juga aku membiarkan sampai dia menegurku kembali.

Leon bersifat kekanak-kanakan, tapi justru sifatnya yang satu itu yang membuat kehidupan kami jauh lebih berwarna. Aku tidak mengharapkan dia jadi lebih dewasa. Yang penting dia sayang aku dan Leonna. Itu sudah cukup.